Tarian Pelangi
Saat selepas isa, hampir seluruh ruas jalan
dikota jogja dipenuhi oleh kendaraan, baik pribadi mamupun umum, inilah pertama
kalinya menginjakkan kaki dikota ini, setelah 7 Tahun lamanya pergi untuk kuliah diluar negeri bukan waktu yang
lama untuk menyulap kota jogja menjadi sepadat ini, semua berjalan dengan
guliran waktu yang kulalui jua di negeri kincir angin, serasa istimewa
menikmati malam dikota kelahiran ayah ini, aku yang berada dibalkon dilantai
dua menikmati secangkir teh hangat buatan ibu menikmati hembusan angin dan
ditemani jua lagu-lagu romantis lengkap rasanya.
Tersentak seketika mendengar suara mobil yang
sepertinya merem tiba-tiba mobil itu berada disebrang jalan aku melihatnya
sangat jelas dan wanita bertubuh mungil itu juga, dia tengah tergeletak pas
didepan mobil itu, dia sepertinya terluka, aku hanya memperhatikan keadaan
sekitar, tak terhitung menit sang pengebudi membuka pintu mobilnya, dan keadaan
sekitar mulai keruh, sepertinya wanita itu terluka parah, keramaian yang belum
menemukan jawaban rasa penuh tanya belum usai bergulat wanita itu berdiri, lalu
lari menuju kebarat dengan terbirit-birit, seperti ta ada yang terjadi
sebelumnya, aku hanya tersenyum dan mengikutinya dengan pandanganku hingga
akhirnya tubuh mungilnya hilang dibalik bangunan.
Seminggu
rasanya belum cukup menghapus kerinduanku dibalkon ini, masih saja menikmati
rasa dahaga kerinduan ini terhapus suasana, mengingat cerita singkatku bersama
teman, sahabat, dan sekaligus cinta pertamaku, tempat ini adalah tempat
pengaduan kami, tempat sulaman cinta itu terangkai, lucu rasanya sudah 7 tahun
belum melihat wajahnya lagi. Aku melihat wanita itu lagi, iya wanita yang lari
terbirit-birit menuju kebarat itu, Dia masih saja lari entah apa yang
membuatnya tak bisa berjalan dengan pakaian yang norak berwarna warni dan
sepertinya terbuat dari renda-renda membuatnya terlihat seperti orang gila,
atau mungkin saja dia memang orang gila ?
Malam ini malam terakhirku dijogja untuk
beberapa bulan kedepan, lamaran kerja yang dikirim beberapa hari yang lalu
akhirnya terjawab, meninggalkan ibu dan ayah untuk mengadu nasib dijakarta
memang keinginan ayah dan ibu dibandigkan tinggal selamanya di negara kincir
angin, semuanya tlah dipersiapkan seperti biasa ibu selalu membuatkanku bekal
makanan jangka panjang, tak lengkap rasanya meninggalkan kota kelahiran ayah
tanpa berjalan-jalan mengelilingi alun-alun kota jogja, tak mau niat ini urung
karena rasa malas langsung saja aku keluar rumah belum berjalan sekitar 4 meter
aku harus menikmati pemandangan yang sama, wanita aneh itu lewat lagi dia muncul
dari arah gang blok c, seperti biasa dia masih saja berlari dengan pakaian
noraknya, terbirit-birit rasanya aneh namun membuatku semakin penasaran, jika
dia gila sebenarnya dia mau kemana ? dan kalau dia memang tidak gila terus apa
yang membuatnya tak bisa berjalan dengan tenang dan kenapa harus setiap saat
terburu-buru ? semua pertanyaan takkan terjawab kalau hanya diam disini, Aku
juga ikut lari dengan maksud mengikutinya, semakin lama, semakin jauh, dan
semakin tak karuan tempat ini, aku rasanya tak ingin mendekat tapi, merasa
khawatir dengan wanita tadi dia berlari menuju kerumunan lelaki hidung belang,
hanya ada satu panggung berukuran 3X2 diasana dan perlatan musik seadanya,
semacam tempat dandutan keliling, aku harus tau aku berdiri mematung melihatnya
dari kejauhan sedikit risih dengan gangguan dari gadis-gadis malam, aku
memutuskan untuk pulang rasanya tak ada gunanya untuk melihat hal seperti
ini, belum terlalu jauh ketukan iringan
tarian jaipong itu menghentikan langkahku, berbalik dan terpaku melihat wanita
gila itu menari, tarian yang tidak asing gerakan yang masih melekat
diingatanku, tak terasa tontonan ini berakhir, dia wanita berbaju norak itu
turun dari panggung hiburan dan berjalan menuju kearahku, semakin dekat dan
semakin dekat aku melihat mata Riska,
dia hanya memandangku dan kemudian kembali berlari seolah menyembunyikan
wajahnya.
“Riska
tunggu. Kamu kenapa?” aku indra.
Dia
hanya terus berlari dan aku mapu meraih tanganya membalikkan badanya kearahku
dan melihat matanya lebih dekat.
“kenapa
lagi ndra?”
“aku
hanya ingin bicara sama kamu.
“Apa
lagi semuanya usai aku sudah nyaman dengan hidupku sekarang.
“Kenpa
harus pekerjaan ini yang kamu pilih?”
“Aku
tidak punya pilihan lagi. Aku mau pulang.
“Tunggu
sebentar.
“Kenapa?’’
“Aku
masih rindu.
“Rindu
? apakah kamu pulang untukku?’’ jawabnya pelan
Semua
terulang berpisah dengan tarian terkhir,
7 tahun yang lalu meninggalkanya seusai pentas tanpa kata setelah
menemaninya dibakon berbulan-bulan
dengan tarian yang biasa kusebut tarian pelangi dan malam ini dia
seperti pelangi yang tetap berwarna walaupun mendung kehidupan tak pernah luput
dari kemalangan takdirnya untuk kedua
kalinya harus meninggalkanya, bersama tarian pelangi aku tak mampu mejadi
jawabanya dan hanya terus berlari, lari, dan terus berlari.