Sabtu, 26 Oktober 2013


 Tarian Pelangi
Saat selepas isa, hampir seluruh ruas jalan dikota jogja dipenuhi oleh kendaraan, baik pribadi mamupun umum, inilah pertama kalinya menginjakkan kaki dikota ini, setelah 7 Tahun lamanya pergi  untuk kuliah diluar negeri bukan waktu yang lama untuk menyulap kota jogja menjadi sepadat ini, semua berjalan dengan guliran waktu yang kulalui jua di negeri kincir angin, serasa istimewa menikmati malam dikota kelahiran ayah ini, aku yang berada dibalkon dilantai dua menikmati secangkir teh hangat buatan ibu menikmati hembusan angin dan ditemani jua lagu-lagu romantis lengkap rasanya.
Tersentak seketika mendengar suara mobil yang sepertinya merem tiba-tiba mobil itu berada disebrang jalan aku melihatnya sangat jelas dan wanita bertubuh mungil itu juga, dia tengah tergeletak pas didepan mobil itu, dia sepertinya terluka, aku hanya memperhatikan keadaan sekitar, tak terhitung menit sang pengebudi membuka pintu mobilnya, dan keadaan sekitar mulai keruh, sepertinya wanita itu terluka parah, keramaian yang belum menemukan jawaban rasa penuh tanya belum usai bergulat wanita itu berdiri, lalu lari menuju kebarat dengan terbirit-birit, seperti ta ada yang terjadi sebelumnya, aku hanya tersenyum dan mengikutinya dengan pandanganku hingga akhirnya tubuh mungilnya hilang dibalik bangunan.
 Seminggu rasanya belum cukup menghapus kerinduanku dibalkon ini, masih saja menikmati rasa dahaga kerinduan ini terhapus suasana, mengingat cerita singkatku bersama teman, sahabat, dan sekaligus cinta pertamaku, tempat ini adalah tempat pengaduan kami, tempat sulaman cinta itu terangkai, lucu rasanya sudah 7 tahun belum melihat wajahnya lagi. Aku melihat wanita itu lagi, iya wanita yang lari terbirit-birit menuju kebarat itu, Dia masih saja lari entah apa yang membuatnya tak bisa berjalan dengan pakaian yang norak berwarna warni dan sepertinya terbuat dari renda-renda membuatnya terlihat seperti orang gila, atau mungkin saja dia memang orang gila ?
    Malam ini malam terakhirku dijogja untuk beberapa bulan kedepan, lamaran kerja yang dikirim beberapa hari yang lalu akhirnya terjawab, meninggalkan ibu dan ayah untuk mengadu nasib dijakarta memang keinginan ayah dan ibu dibandigkan tinggal selamanya di negara kincir angin, semuanya tlah dipersiapkan seperti biasa ibu selalu membuatkanku bekal makanan jangka panjang, tak lengkap rasanya meninggalkan kota kelahiran ayah tanpa berjalan-jalan mengelilingi alun-alun kota jogja, tak mau niat ini urung karena rasa malas langsung saja aku keluar rumah belum berjalan sekitar 4 meter aku harus menikmati pemandangan yang sama, wanita aneh itu lewat lagi dia muncul dari arah gang blok c, seperti biasa dia masih saja berlari dengan pakaian noraknya, terbirit-birit rasanya aneh namun membuatku semakin penasaran, jika dia gila sebenarnya dia mau kemana ? dan kalau dia memang tidak gila terus apa yang membuatnya tak bisa berjalan dengan tenang dan kenapa harus setiap saat terburu-buru ? semua pertanyaan takkan terjawab kalau hanya diam disini, Aku juga ikut lari dengan maksud mengikutinya, semakin lama, semakin jauh, dan semakin tak karuan tempat ini, aku rasanya tak ingin mendekat tapi, merasa khawatir dengan wanita tadi dia berlari menuju kerumunan lelaki hidung belang, hanya ada satu panggung berukuran 3X2 diasana dan perlatan musik seadanya, semacam tempat dandutan keliling, aku harus tau aku berdiri mematung melihatnya dari kejauhan sedikit risih dengan gangguan dari gadis-gadis malam, aku memutuskan untuk pulang rasanya tak ada gunanya untuk melihat hal seperti ini,  belum terlalu jauh ketukan iringan tarian jaipong itu menghentikan langkahku, berbalik dan terpaku melihat wanita gila itu menari, tarian yang tidak asing gerakan yang masih melekat diingatanku, tak terasa tontonan ini berakhir, dia wanita berbaju norak itu turun dari panggung hiburan dan berjalan menuju kearahku, semakin dekat dan semakin dekat aku melihat mata Riska,  dia hanya memandangku dan kemudian kembali berlari seolah menyembunyikan wajahnya.
“Riska tunggu. Kamu kenapa?” aku indra.
Dia hanya terus berlari dan aku mapu meraih tanganya membalikkan badanya kearahku dan melihat matanya lebih dekat.
“kenapa lagi ndra?”
“aku hanya ingin bicara sama kamu.
“Apa lagi semuanya usai aku sudah nyaman dengan hidupku sekarang.
“Kenpa harus pekerjaan ini yang kamu pilih?”
“Aku tidak punya pilihan lagi. Aku mau pulang.
“Tunggu sebentar.
“Kenapa?’’
“Aku masih rindu.
“Rindu ? apakah kamu pulang untukku?’’ jawabnya pelan
Semua terulang berpisah dengan tarian terkhir,  7 tahun yang lalu meninggalkanya seusai pentas tanpa kata setelah menemaninya dibakon berbulan-bulan  dengan tarian yang biasa kusebut tarian pelangi dan malam ini dia seperti pelangi yang tetap berwarna walaupun mendung kehidupan tak pernah luput dari kemalangan takdirnya  untuk kedua kalinya harus meninggalkanya, bersama tarian pelangi aku tak mampu mejadi jawabanya dan hanya terus berlari, lari, dan terus berlari.